Selasa, 16 Oktober 2012

DUKA

Mudik di tengah semester. Tidak seperti mudik yang sudah-sudah, menginjakan kaki di Sorong kali ini terasa sedikit berbeda. Sedih, pasti. Bukan karena apa yang akan aku tinggalkan, tapi keadaan apa yang akan kutuju. Kalau sebelumnya mudik sudah harus tersusun minimal dua minggu sebelum keberangkatan, maka kali aku tidak butuh waktu 24 jam untuk memutuskan bahwa apapun yang terjadi aku wajib pulang. Kalau sebelumnya mudik harus diiringi dengan bawaan beban yang banyak, maka mudik kali ini hanya bermodalkan satu tas laptop dan satu tas pundak. Berbeda, jelas. Bahkan niat mudik kali ini pun berbeda.

Hawa panas yang menerpaku begitu menginjakkan kaki di Sorong tidak mampu menghibur hatiku, bahkan sekedar mengguriskan senyum terpaksa.

Ketika hiruk pikuk masih terjadi, kegiatan mondar-mandir di rumah masih terlihat jelas, terbersit kalimat yang kemudian membentuk pertanyaan sederhana. Apa sebenarnya definisi dari meninggal? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), meninggal yaitu mati; berpulang. Mati apa? Berpulang kemana? ujar batinku lagi. Ah, sederhana sebenarnya, aku saja yang membuatnya menjadi ribet. “Setiap orang akan merasakannya. Ini hanya masalah waktu”, kata salah seorang Om, adik Bapa, mencoba menghiburku. “Jika seluruh orang di kota Sorong mendo’akannya belum tentu terkabul. Namun, jika anak-anaknya yang mendo’akan, insyaAllah doanya akan dijamah Allah”, sambungnya lagi.

La Awu Pangulu. Pria yang akrab aku sapa Bapa ini merupakan salah satu dari pria tertampan di rumah. Dengan postur tubuhnya yang tinggi, kulit coklat matang, dan suara yang menggelegar mampu menjadi sosok yang menakutkan bagi anak-anak di kompleks rumah, termasuk cucu beliau sendiri. Selain berperan sebagai kepala keluarga, Bapa juga mendapat amanah di salah satu perusahaan minyak di Sorong. Karena jarak antara perusahaan dan rumah yang cukup jauh maka Bapa memilih kerja secara total dengan tinggal di tempat selama beberapa hari dan kemudian akan terbayarkan dengan cuti di rumah. Misal Bapa memilih dua atau tiga minggu di kantor, maka panjang cuti di rumah sekitar satu sampai dua minggu. Begitulah cara beliau menjalankan amanahnya dengan baik.

Beberapa hari ini Bapa memang tidak terlihat sedang melakukan aktivitas di perusahaan maupun di rumah. Bapa memang sedang cuti, tapi tidak berada di rumah. Beliau tidak sedang duduk di kursi kesayangannya di dapur sambil melihat ke luar rumah melalui jendela, tidak sedang duduk di teras rumah sambil berbagi kisah dengan istri atau anak-anaknya, tidak sedang menonton televisi dengan volume yang sengaja dibesarkan, tidak sedang mendirikan sholat, tidak sedang makan dengan lahap, atau tidak sedang mengomentari hal-hal kecil yang dilakukan di dalam rumah. Beliau telah beristirahat untuk semua hal seperti itu.

Gerhana bulan, biografi yang belum rampung hingga kini, tangis tanpa alasan, hingga kekhawatiran yang tidak jelas. Ah, aku benar-benar tidak menyadarinya.

Hilang sudah tiga deretan nomor dalam daftar list mimpi besarku. Hilang bukan karena telah tercapai, bukan karena tertunda, tapi karena benar-benar tidak akan terjadi.

Bapa telah dijemput dengan pesawat pribadi beliau, menuju tujuan akhir yang benar-benar akhir dengan sebelumnya menunggu di bandara untuk transit sebentar. Hanya sebentar, sebelum setiap orang juga menyusulnya.

Dan inilah duka pertamaku.

2 komentar:

  1. Seeppp...
    Teruslah menulis dan menulis,,,,
    mudah2an bisa jadi seorang inspirator besok nanti,,
    aamiin....

    BalasHapus
  2. ga pengen jadi inspirator ary hehe.

    BalasHapus