“Dunia bukan hanya ada di buku dan petamu.
Dunia ada di luar sana” – Gandalf; The Hobbit.
Di
dekat rumah ada sebuah gunung yang menjulang dengan congkak, Gunung EmpatRatus
namanya. Jangan salah, dengan posisi yang tidak rata sebagaimana gunung pada
umumnya, banyak didirikan rumah-rumah sebagai tempat kediaman. Saat pagi bisa
kau lihat kabut yang menyelimuti puncaknya, bisa juga kau amati bagian-bagian
kecoklatan sisa pembakaran hutan yang akan dijadikan lahan oleh penduduk.
Mengapa dinamakan Gunung EmpatRatus? Kata Nunu, adik saya: “itu karna tinggi
gunungnya sampai 400 meter”. Empat ratus meter dulu bagi saya tinggi, sangat
tinggi. Nunu pernah dengan bangga mengatakan bahwa ia sudah sampai di puncak
Gunung EmpatRatus dan melihat Sorong dari atas. Atau kakak saya, Lili, yang
mengaku pernah jatuh saat main ke rumah teman di gunung tersebut. Ah, jangan
tanyakan saya. Setengah saja saya tidak pernah sampai, apalagi puncak. Sekali
saya pernah main ke rumah teman yang letaknya di kaki gunung, lalu kata teman
saya: “nila, kita sudah lebih tinggi dari orang-orang di bawah sana”. Dan saya
bangga bukan main. Sungguh mati, saya luar biasa bangganya!
Pertengahan
tahun 2010, saya mewajibkan diri sendiri untuk melanjutkan sekolah ke Jakarta.
Berbagai kegiatan dan tempat baru telah saya kunjungi selama di ibukota. Maka
hal-hal baru yang lainnya menyusul: pengalaman baru, teman baru, sampai makanan
baru pun banyak saya jumpai. Yang
sungguh tidak terduga adalah temannya si Gunung EmpatRatus mengundang saya
untuk mampir ke kediamannya; Gede Pangrango. Seolah-olah berkata si Gunung
EmpatRatus: “hei nila, taklukan dulu teman-teman saya itu baru kau datang dan
kunjungi saya lagi di kakiku”.
Wahyu,
teman sekelas saya, pernah bercerita tentang kegiatannya naik gunung. Tentang
susah payahnya selama nanjak, tentang makanannya selama di puncak, dan berbagai
tentang-tentang lainnya yang kemudian memicu adrenalin saya bereaksi dan
meningkat. Saya merasa ditantang. Maka, inilah kisah romantis pertama tentang
saya dan alam, sungguh saya dibuat jatuh bangun karena cintanya. Oh, saya
sungguh jatuh cinta padanya.
Setelah
tertunda selama beberapa kali, maka pada tanggal 14-16 Juni 2013 saya dan teman-teman
akan mencoba ber’tamu’ ke Gede Pangrango. Kami berduabelas berangkat dari
Rawamangun sekitar pukul 20.30, lalu mengobrol dan terlunta-lunta di kampung
rambutan sebentar sebelum menempuh perjalanan panjang ke Cibodas. Selama di bis
menuju Cibodas, saya berbincang dengan pria yang entah namanya siapa; mengenai
gunung dan sekitarnya. Dia bercerita banyak tentang pengalamannya selama naik
beberapa gunung. Saya jelas jadi pendengar yang baik, pengalaman naik gunung
saya saja baru akan dimulai. Berdasarkan kisahnya, terkesan bahwa gunung bukan
buat untuk niat main-main ataupun pamer. Saya merinding, lalu bertanya pada
hati, ‘kita tidak sedang pamer, kan?’
Tiba
di Cibodas sekitar pukul 01,00 dini hari. Dan asli, dinginnya menggigit. Wahyu dengan
tanpa dosanya bertanya: “nanjak sekarang aja apa nih?”, dan dijawab iya oleh
rombongan. Oke, dini hari tanpa tidur dan nanjak. Ayo berbenah!
![]() |
| Rombongan di Cibodas dini hari, dinginnya makin menggigit. |
Setelah
melewati prosedur pendaftaran di pos 1, do’a bersama, semangat dan janji untuk
saling menguatkan satu sama lain, maka perjalanan sebenarnya pun dimulai. Jam 01.30
dini hari. Headlamp, sarung tangan,
jaket, carrier, diposisikan senyaman
mungkin di tubuh. Jalanan mulai terjal, tanjakan silih berganti, bekas
batu-batuan besar mulai terasa di kaki. Begitu terus selama beberapa jam. Saat
melewati jembatan yang jalannya panjang dan lurus, kami beristirahat sebentar,
yang dalam bahasa umumnya, rest. Kata
pemandu rombongan, Omen: “Ini belum seperempat perjalanan. Simpan energi,
simpan bekal, mantapkan hati!”. Sekitar pukul 07.00, perjalananpun kami
lanjutkan. Tanjakan, batu besar, pohon, suhu dingin. Tanjakannyapun tidak
tanggung-tanggung. Kau harus menaikkan lutut hingga setinggi pinggang lalu
jadikan kaki sebagai tumpuan untuk menaikkan badan. Salah meletakkan pijakan
kaki, kau bisa tergelincir. Maka tidak heran jika saya dan dua teman wanita
lainnya berkali-kali meminta rest.
![]() |
| Persiapan nanjak setelah take a rest |
Tiba
di kandang badak sekitar pukul 11.00 siang. Kandang badak merupakan tempat
untuk mendirikan tenda dan melakukan aktivitas lainnya sebelum menuju puncak.
Keesokan harinya sekitar pukul 03.00 dini hari, kami kemudian menuju puncak
gede. Medan yang ditempuh jauh lebih berat dibandingkan sebelumnya. Tanjakan
setinggi pinggang, kemiringan hingga 90°, dan pijakan tanpa pegangan di tangan
memaksa tubuh untuk terus berpindah dan cerdas memilih tumpuan. Sepanjang
perjalanan banyak ditemukan tumbuhan unik yang hanya dapat tumbuh pada suhu dan
iklim tertentu. Unik, kan? Karena itulah saya cinta. Pukul 05.30 pagi, kami
tiba persis di puncak gede, 2958 mdpl. Dan, oh Tuhan, subhanallah, sungguh luar
biasa indah pemandangannya, sungguh sangat keterlaluan nuansanya. Dari atas
sana bisa kau saksikan pohon-pohon yang sebelumnya menjadi perjalananmu, bisa
kau rasakan bekas-bekas usahamu menuju puncak. Oh God! I’m falling in love!
![]() |
| Hai alam, aku cinta padamu! |
Sepanjang
perjalanan pulang, saya seperti menemukan kepingan ‘makna hidup’. Bahwa jika
kamu mencintai sesuatu, maka hanya dengan usaha paling maksimal baru dahaga
akan cinta kamu terpenuhi. Tapi ini cinta yang sungguhan, yang membuat kamu
terus menerus merasa dahaga. I’m
addicted!
![]() |
| Sisa berkas matahari di kandang batu. Indah yah :) |
Kisah
ini menghabiskan hampir seluruh perbendaharaan kosa kata saya. Saya benar-benar
tidak memiliki kalimat yang mampu menggambarkan betapa bahagianya saya, betapa
sangat jatuh cintanya saya pada alam.




