Jumat, 18 April 2014

Gede Pangrango, 2013


Dunia bukan hanya ada di buku dan petamu. Dunia ada di luar sana” – Gandalf; The Hobbit.

Di dekat rumah ada sebuah gunung yang menjulang dengan congkak, Gunung EmpatRatus namanya. Jangan salah, dengan posisi yang tidak rata sebagaimana gunung pada umumnya, banyak didirikan rumah-rumah sebagai tempat kediaman. Saat pagi bisa kau lihat kabut yang menyelimuti puncaknya, bisa juga kau amati bagian-bagian kecoklatan sisa pembakaran hutan yang akan dijadikan lahan oleh penduduk. Mengapa dinamakan Gunung EmpatRatus? Kata Nunu, adik saya: “itu karna tinggi gunungnya sampai 400 meter”. Empat ratus meter dulu bagi saya tinggi, sangat tinggi. Nunu pernah dengan bangga mengatakan bahwa ia sudah sampai di puncak Gunung EmpatRatus dan melihat Sorong dari atas. Atau kakak saya, Lili, yang mengaku pernah jatuh saat main ke rumah teman di gunung tersebut. Ah, jangan tanyakan saya. Setengah saja saya tidak pernah sampai, apalagi puncak. Sekali saya pernah main ke rumah teman yang letaknya di kaki gunung, lalu kata teman saya: “nila, kita sudah lebih tinggi dari orang-orang di bawah sana”. Dan saya bangga bukan main. Sungguh mati, saya luar biasa bangganya!

Pertengahan tahun 2010, saya mewajibkan diri sendiri untuk melanjutkan sekolah ke Jakarta. Berbagai kegiatan dan tempat baru telah saya kunjungi selama di ibukota. Maka hal-hal baru yang lainnya menyusul: pengalaman baru, teman baru, sampai makanan baru  pun banyak saya jumpai. Yang sungguh tidak terduga adalah temannya si Gunung EmpatRatus mengundang saya untuk mampir ke kediamannya; Gede Pangrango. Seolah-olah berkata si Gunung EmpatRatus: “hei nila, taklukan dulu teman-teman saya itu baru kau datang dan kunjungi saya lagi di kakiku”.

Wahyu, teman sekelas saya, pernah bercerita tentang kegiatannya naik gunung. Tentang susah payahnya selama nanjak, tentang makanannya selama di puncak, dan berbagai tentang-tentang lainnya yang kemudian memicu adrenalin saya bereaksi dan meningkat. Saya merasa ditantang. Maka, inilah kisah romantis pertama tentang saya dan alam, sungguh saya dibuat jatuh bangun karena cintanya. Oh, saya sungguh jatuh cinta padanya.

Setelah tertunda selama beberapa kali, maka pada tanggal 14-16 Juni 2013 saya dan teman-teman akan mencoba ber’tamu’ ke Gede Pangrango. Kami berduabelas berangkat dari Rawamangun sekitar pukul 20.30, lalu mengobrol dan terlunta-lunta di kampung rambutan sebentar sebelum menempuh perjalanan panjang ke Cibodas. Selama di bis menuju Cibodas, saya berbincang dengan pria yang entah namanya siapa; mengenai gunung dan sekitarnya. Dia bercerita banyak tentang pengalamannya selama naik beberapa gunung. Saya jelas jadi pendengar yang baik, pengalaman naik gunung saya saja baru akan dimulai. Berdasarkan kisahnya, terkesan bahwa gunung bukan buat untuk niat main-main ataupun pamer. Saya merinding, lalu bertanya pada hati, ‘kita tidak sedang pamer, kan?’

Tiba di Cibodas sekitar pukul 01,00 dini hari. Dan asli, dinginnya menggigit. Wahyu dengan tanpa dosanya bertanya: “nanjak sekarang aja apa nih?”, dan dijawab iya oleh rombongan. Oke, dini hari tanpa tidur dan nanjak. Ayo berbenah!
Rombongan di Cibodas dini hari, dinginnya makin menggigit.

Setelah melewati prosedur pendaftaran di pos 1, do’a bersama, semangat dan janji untuk saling menguatkan satu sama lain, maka perjalanan sebenarnya pun dimulai. Jam 01.30 dini hari. Headlamp, sarung tangan, jaket, carrier, diposisikan senyaman mungkin di tubuh. Jalanan mulai terjal, tanjakan silih berganti, bekas batu-batuan besar mulai terasa di kaki. Begitu terus selama beberapa jam. Saat melewati jembatan yang jalannya panjang dan lurus, kami beristirahat sebentar, yang dalam bahasa umumnya, rest. Kata pemandu rombongan, Omen: “Ini belum seperempat perjalanan. Simpan energi, simpan bekal, mantapkan hati!”. Sekitar pukul 07.00, perjalananpun kami lanjutkan. Tanjakan, batu besar, pohon, suhu dingin. Tanjakannyapun tidak tanggung-tanggung. Kau harus menaikkan lutut hingga setinggi pinggang lalu jadikan kaki sebagai tumpuan untuk menaikkan badan. Salah meletakkan pijakan kaki, kau bisa tergelincir. Maka tidak heran jika saya dan dua teman wanita lainnya berkali-kali meminta rest.

Persiapan nanjak setelah take a rest
Tiba di kandang badak sekitar pukul 11.00 siang. Kandang badak merupakan tempat untuk mendirikan tenda dan melakukan aktivitas lainnya sebelum menuju puncak. Keesokan harinya sekitar pukul 03.00 dini hari, kami kemudian menuju puncak gede. Medan yang ditempuh jauh lebih berat dibandingkan sebelumnya. Tanjakan setinggi pinggang, kemiringan hingga 90°, dan pijakan tanpa pegangan di tangan memaksa tubuh untuk terus berpindah dan cerdas memilih tumpuan. Sepanjang perjalanan banyak ditemukan tumbuhan unik yang hanya dapat tumbuh pada suhu dan iklim tertentu. Unik, kan? Karena itulah saya cinta. Pukul 05.30 pagi, kami tiba persis di puncak gede, 2958 mdpl. Dan, oh Tuhan, subhanallah, sungguh luar biasa indah pemandangannya, sungguh sangat keterlaluan nuansanya. Dari atas sana bisa kau saksikan pohon-pohon yang sebelumnya menjadi perjalananmu, bisa kau rasakan bekas-bekas usahamu menuju puncak. Oh God! I’m falling in love!

Hai alam, aku cinta padamu!
Sepanjang perjalanan pulang, saya seperti menemukan kepingan ‘makna hidup’. Bahwa jika kamu mencintai sesuatu, maka hanya dengan usaha paling maksimal baru dahaga akan cinta kamu terpenuhi. Tapi ini cinta yang sungguhan, yang membuat kamu terus menerus merasa dahaga. I’m addicted!



Sisa berkas matahari di kandang batu. Indah yah :)


Kisah ini menghabiskan hampir seluruh perbendaharaan kosa kata saya. Saya benar-benar tidak memiliki kalimat yang mampu menggambarkan betapa bahagianya saya, betapa sangat jatuh cintanya saya pada alam. 

Sabtu, 30 November 2013


cause we lost it all
Nothing lasts forever
I'm sorry I can't be perfect
Now it's just too late
And we can't go back
I'm sorry I can't be perfect


Rabu, 17 April 2013

~

Kita masih sama-sama mengejar ilmu; berusaha mencuri hasil obrolan setiap sore, mengais sisa-sisa ilmu di dinding kelas, melusuhkan tangan pada setiap lembaran buku, lalu tersenyum sendiri.

Dulu kita sama-sama idealis, mempertahankan apa yang diyakini sebagian orang “tabu”. Apa kabar keidealisanmu sekarang? Terkikis jamankah? Inilah seleksi alam, bahkan jika kau menyadarinya.


Sahabat (?)

Ini kesekian kalinya kami bermasalah, kesekian kalinya kami menghadapi konflik dengan batin sendiri. Hanya bedanya masalah ini akhirnya terkuak, dengan peran  individu yang sebenarnya tidak ingin terlibat. Berusaha mempertahankan hanya karena waktu? Entahlah. Selama hampir tiga minggu ini saya dalam proses mencari, dan belum berhenti. Jelas belum menyerah sama sekali.
 Apa itu ‘sahabat’?