Rabu, 17 April 2013

Sahabat (?)

Ini kesekian kalinya kami bermasalah, kesekian kalinya kami menghadapi konflik dengan batin sendiri. Hanya bedanya masalah ini akhirnya terkuak, dengan peran  individu yang sebenarnya tidak ingin terlibat. Berusaha mempertahankan hanya karena waktu? Entahlah. Selama hampir tiga minggu ini saya dalam proses mencari, dan belum berhenti. Jelas belum menyerah sama sekali.
 Apa itu ‘sahabat’?

Pramoedya Ananta Toer dalam tokohnya Nyai Ontosoroh di salah satu Tetralogi Buru-nya, Anak Semua Bangsa, mengatakan bahwa “Sahabat dalam kesulitan adalah sahabat dalam segala-galanya. Jangan sepelekan persahabatan. Kehebatannya lebih besar dari pada panasnya permusuhan”. Adakah Pram pernah merasakan hal ini hingga ia mampu merangkainya dalam salah satu mahakarya-nya? Atau hanya kalimat yang dirasanya cocok untuk diungkapkan dalam situasi yang menjebak tokoh utama, Minke, saat itu?
Apa itu sahabat? Saya pernah mengajukan pertanyaan tersebut ke beberapa orang. Salah satu jawaban keluar dari partner di kampus, bahwa “Pendefinisian sahabat berbeda nil, tergantung persepsi orang itu sendiri”. Tidak, sama sekali belum puas dengan jawaban ini. Saya ingin mengajukan pertanyaan secara membabi buta, tapi ketika saya baru saja mengajukan pertanyaan pertama saya kemudian bingung terhadap jawaban pertanyaan sebelumnya. Jadi ini apa-apaan sih?
Saya tau, saya sedang ragu terhadap suatu konsep yang sudah terpatrikan dalam batin saya. Saya tau, saya mempertanyakan lagi konsep yang saya buat sendiri. Sederhana bagi yang lain, tapi sungguh benar-benar menyesakkan untuk saya. Bahaya, ternyata !
Ini mulai terjadi sejak kami berhubungan hanya melalui perangkat komunikasi yang canggih itu, via mobilephone. Kami menjadi sibuk dengan urusan masing-masing: kuliah, organisasi, pacar, keluarga, dan lain sebagainya; urusan masing-masing. Hampir jarang bercakap, hanya tau “oh, dia sudah putus dengan pacarnya”, atau “oh ya ampun, dia udah jadian aja”, atau  “aku mau ke (menyebutkan salah satu nama kota) hari ini” atau terkadang “eh kakaknya udah nikah loh”. Mereka yang sering atau bisa berjumpa masih punya kesempatan untuk berbagi langsung, via face to face. Berbagi cerita bersama, bahagia dan duka yang satu menjadi tanggungan yang lain. Lalu yang berada sekian ratus kilometer itu ditempatkan dimana? Oh, masih dekat dihati. Tapi tentu berbeda jika diposisikan dengan yang lainnya. Bukan hanya saya yang merasakan kegundahan itu, rupanya pihak yang lain pun merasakan hal yang sama, semakin tidak mengenal pribadi yang dulu dekat dengannya. Kini, masing-masing dari kami hanya tau kesimpulan yang tiba-tiba tanpa proses. Tidak dipungkiri, kami semakin renggang.
Seiring waktu berjalan, setelah berbagai kisah unik menimpa, tanpa diduga masing-masing dari kami ternyata memendam rasa sakit hati terhadap yang lain. Bodohnya kami diam. Diskusi pun tidak kami lakukan, atau minimal obrolan ringan tidak sama sekali terbersit. Puncaknya kini semua masalah terkuak. Obrolan akhirnya dimulai juga, kami saling menuding dan menunjuk jari, saling tidak mengakui kesalahan masing-masing. Bahwa ‘saya’lah pihak yang teraniaya dengan setiap omongan dan tingkah laku ‘kamu’, baik segala hal tersebut ditujukan langsung untuk’ku’ atau orang lain. Bahwa ‘saya’lah pihak yang harusnya menerima maaf’mu’ dan memberikan maaf. Bahwa ‘saya’ sudah merasakan ini sejak lama; sejak lama, hanya tidak mau membahasnya. Lalu salah satu pihak memilih menyudahi semuanya; mungkin harus saya ulang, semuanya !
Rasanya asing. Orang yang dulu setia berdiri bersamamu, menghabiskan sebagian besar waktu dua puluh empat jam tujuh harinya hanya untuk mendengarkan kisahmu yang bertele-tele, membantu mengukir garis-garis kehidupan bingkaimu, menghias hidupmu seperti gelombang sinus, setia membela dirimu mati-matian bahkan jika kamu dipihak yang salah, berdiri merangkul saat suka dan duka, memotivasi saat yang lain memojokanmu habis-habisan walau terkadang kalimatnya terdengar bodoh, yang rasa sayangmu padanya melebihi rasa sayang terhadap hobi, bermimpi bersama di setiap sudut bumi; ternyata memilih menyudahi kebersamaan ini. Seperti apa berada dalam situasi itu? Biar saya definisikan rasanya, kira-kira seperti punya luka sobekan beling menganga dengan darah segar mengucur lalu disuguhkan beberapa tetesan jeruk nipis. Serius, sakit !
Lalu saya kembali merenung makna sahabat. Ini benar-benar fondasi saya dalam mempertanyakan sesuatu, yang kemudian melebar, menjalar menjadi sering mempertanyakan apa saja. Sedihnya, saya masih saja belum menemukan jawaban dari setiap pertanyaan saya.
Sempat terbersit untuk mengajukan maaf dan memaafkan. Namun jika belum tersedia pernyataan memuaskan yang menyangkut sahabat, siapa berani menjamin bahwa kami ke depannya akan tetap baik-baik saja? Bahwa kami akan tetap saling mendukung satu sama lain? Hanya khawatir akan timbul rasa kepura-puraan antara kami. Khawatir segala bentuk pertolongan –bahkan keputusan untuk kembali bersahabat- dilandaskan pada waktu yang telah kami tempuh bersama, sayang sama waktu yang sudah lewat. Misal, “dia sahabat saya sejak tiga tahun yang lalu. Sayang, kan? Kami bersahabat sudah lama”. Jadi keputusan untuk saling mengayomi satu sama lain lagi dilakukan karena hubungan yang sudah lama dan sayang untuk diberhentikan, bukan karena rasa kewajiban melakukannya; tulus, ikhlas, tanpa pretensi.
Sekian kali sudah saya bernostalgia dengan membaca tulisan sederhana saya tentang mereka, meng-klik next pada setiap picture yang menampilkan wajah dan aktivitas kami bersama, membuka lagi setiap SMS saat kami bermesraan. Ada semacam perasaan haru; mereka pernah duduk dalam singgasana hati ternyata.
Hal ini benar-benar membuat saya berintropeksi diri habis-habisan. Saya terkadang merasa sudah menjadi wanita dewasa dan cuek, dan tololnya saya membenarkannya. Tapi tunggu dulu,  adakah wanita dewasa merasa harus sakit hati terhadap tingkah laku sahabatnya sendiri? Dibiarkan masalahnya terpendam hingga busuk dan karatan? Tidak. Itu bukan dewasa. Adakah wanita cuek yang ternyata memendam sakit hati berlebih terhadap sahabatnya? Bagian mana yang dinamakan cuek? Toh masih saja dipendam hingga sakit hati.
Anyone, please give me real statement about the mean of best friend.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar