Ini
kesekian kalinya kami bermasalah, kesekian kalinya kami menghadapi konflik
dengan batin sendiri. Hanya bedanya masalah ini akhirnya terkuak, dengan
peran individu yang sebenarnya tidak
ingin terlibat. Berusaha mempertahankan hanya karena waktu? Entahlah. Selama
hampir tiga minggu ini saya dalam proses mencari, dan belum berhenti. Jelas
belum menyerah sama sekali.
Apa itu
‘sahabat’?
Pramoedya
Ananta Toer dalam tokohnya Nyai Ontosoroh di salah satu Tetralogi Buru-nya,
Anak Semua Bangsa, mengatakan bahwa “Sahabat dalam kesulitan adalah sahabat
dalam segala-galanya. Jangan sepelekan persahabatan. Kehebatannya lebih besar
dari pada panasnya permusuhan”. Adakah Pram pernah merasakan hal ini hingga ia
mampu merangkainya dalam salah satu mahakarya-nya? Atau hanya kalimat yang
dirasanya cocok untuk diungkapkan dalam situasi yang menjebak tokoh utama,
Minke, saat itu?
Apa itu
sahabat? Saya pernah mengajukan pertanyaan
tersebut ke beberapa orang. Salah satu jawaban keluar dari partner di kampus,
bahwa “Pendefinisian sahabat berbeda nil, tergantung persepsi orang itu
sendiri”. Tidak, sama sekali belum puas dengan jawaban ini. Saya ingin
mengajukan pertanyaan secara membabi buta, tapi ketika saya baru saja
mengajukan pertanyaan pertama saya kemudian bingung terhadap jawaban pertanyaan
sebelumnya. Jadi ini apa-apaan sih?
Saya
tau, saya sedang ragu terhadap suatu konsep yang sudah terpatrikan dalam batin
saya. Saya tau, saya mempertanyakan lagi konsep yang saya buat sendiri. Sederhana
bagi yang lain, tapi sungguh benar-benar menyesakkan untuk saya. Bahaya,
ternyata !
Ini
mulai terjadi sejak kami berhubungan hanya melalui perangkat komunikasi yang
canggih itu, via mobilephone. Kami
menjadi sibuk dengan urusan masing-masing: kuliah, organisasi, pacar, keluarga,
dan lain sebagainya; urusan masing-masing. Hampir jarang bercakap, hanya tau
“oh, dia sudah putus dengan pacarnya”, atau “oh ya ampun, dia udah jadian aja”,
atau “aku mau ke (menyebutkan salah satu
nama kota) hari ini” atau terkadang “eh kakaknya udah nikah loh”. Mereka yang
sering atau bisa berjumpa masih punya kesempatan untuk berbagi langsung, via face to face. Berbagi cerita
bersama, bahagia dan duka yang satu menjadi tanggungan yang lain. Lalu yang
berada sekian ratus kilometer itu ditempatkan dimana? Oh, masih dekat dihati.
Tapi tentu berbeda jika diposisikan dengan yang lainnya. Bukan hanya saya yang
merasakan kegundahan itu, rupanya pihak yang lain pun merasakan hal yang sama,
semakin tidak mengenal pribadi yang dulu dekat dengannya. Kini, masing-masing
dari kami hanya tau kesimpulan yang tiba-tiba tanpa proses. Tidak dipungkiri,
kami semakin renggang.
Seiring
waktu berjalan, setelah berbagai kisah unik menimpa, tanpa diduga masing-masing
dari kami ternyata memendam rasa sakit hati terhadap yang lain. Bodohnya kami
diam. Diskusi pun tidak kami lakukan, atau minimal obrolan ringan tidak sama
sekali terbersit. Puncaknya kini semua masalah terkuak. Obrolan akhirnya
dimulai juga, kami saling menuding dan menunjuk jari, saling tidak mengakui
kesalahan masing-masing. Bahwa ‘saya’lah pihak yang teraniaya dengan setiap
omongan dan tingkah laku ‘kamu’, baik segala hal tersebut ditujukan langsung
untuk’ku’ atau orang lain. Bahwa ‘saya’lah pihak yang harusnya menerima
maaf’mu’ dan memberikan maaf. Bahwa ‘saya’ sudah merasakan ini sejak lama;
sejak lama, hanya tidak mau membahasnya. Lalu salah satu pihak memilih
menyudahi semuanya; mungkin harus saya ulang, semuanya !
Rasanya
asing. Orang yang dulu setia berdiri bersamamu, menghabiskan sebagian besar
waktu dua puluh empat jam tujuh harinya hanya untuk mendengarkan kisahmu yang
bertele-tele, membantu mengukir garis-garis kehidupan bingkaimu, menghias
hidupmu seperti gelombang sinus, setia membela dirimu mati-matian bahkan jika
kamu dipihak yang salah, berdiri merangkul saat suka dan duka, memotivasi saat
yang lain memojokanmu habis-habisan walau terkadang kalimatnya terdengar bodoh,
yang rasa sayangmu padanya melebihi rasa sayang terhadap hobi, bermimpi bersama
di setiap sudut bumi; ternyata memilih menyudahi kebersamaan ini. Seperti apa
berada dalam situasi itu? Biar saya definisikan rasanya, kira-kira seperti
punya luka sobekan beling menganga dengan darah segar mengucur lalu disuguhkan
beberapa tetesan jeruk nipis. Serius, sakit !
Lalu
saya kembali merenung makna sahabat. Ini benar-benar fondasi saya dalam
mempertanyakan sesuatu, yang kemudian melebar, menjalar menjadi sering
mempertanyakan apa saja. Sedihnya, saya masih saja belum menemukan jawaban dari
setiap pertanyaan saya.
Sempat
terbersit untuk mengajukan maaf dan memaafkan. Namun jika belum tersedia
pernyataan memuaskan yang menyangkut sahabat, siapa berani menjamin bahwa kami
ke depannya akan tetap baik-baik saja? Bahwa kami akan tetap saling mendukung
satu sama lain? Hanya khawatir akan timbul rasa kepura-puraan antara kami.
Khawatir segala bentuk pertolongan –bahkan keputusan untuk kembali bersahabat-
dilandaskan pada waktu yang telah kami tempuh bersama, sayang sama waktu yang
sudah lewat. Misal, “dia sahabat saya sejak tiga tahun yang lalu. Sayang, kan?
Kami bersahabat sudah lama”. Jadi keputusan untuk saling mengayomi satu sama
lain lagi dilakukan karena hubungan yang sudah lama dan sayang untuk
diberhentikan, bukan karena rasa kewajiban melakukannya; tulus, ikhlas, tanpa
pretensi.
Sekian
kali sudah saya bernostalgia dengan membaca tulisan sederhana saya tentang
mereka, meng-klik next pada setiap picture yang menampilkan wajah dan
aktivitas kami bersama, membuka lagi setiap SMS saat kami bermesraan. Ada
semacam perasaan haru; mereka pernah duduk dalam singgasana hati ternyata.
Hal
ini benar-benar membuat saya berintropeksi diri habis-habisan. Saya terkadang
merasa sudah menjadi wanita dewasa dan cuek, dan tololnya saya membenarkannya.
Tapi tunggu dulu, adakah wanita dewasa
merasa harus sakit hati terhadap tingkah laku sahabatnya sendiri? Dibiarkan
masalahnya terpendam hingga busuk dan karatan? Tidak. Itu bukan dewasa. Adakah
wanita cuek yang ternyata memendam sakit hati berlebih terhadap sahabatnya?
Bagian mana yang dinamakan cuek? Toh masih saja dipendam hingga sakit hati.
Anyone,
please give me real statement about the mean of best friend.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar