Sabtu, 02 Juni 2012

'Rasa' ini


Hari ini, ketika kosan sunyi senyap, ketika daerah Pemuda I sepi lenggang, dan ketika Jakarta sedang tidak diguyur hujan, hatiku kembali berbunga. Ah, pria manis itu kembali menampakkan dirinya. Aku jatuh cinta, Tuhan.


Kakak, adikmu yang centil ini jatuh cinta, kak. Adikmu yang dulu kau marahi karna pekerjaan rumah sekarang sedang berbunga karna pria, kak. Adikmu yang dulu sering kau bangunkan tidurnya, sekarang lagi terbangun hatinya oleh cinta, kak. Kesederhanaannya, pemikirannya, segala hal tentang dia mampu menarik perhatianku. Tahukah kau kak, dia tidak sama sekali memperhatikanku, tidak sedikitpun. Perbincangan dengannya hanya akan terjadi jika kebetulan, tidak lebih. Mukjizat rasanya jika ia menghampiriku dan mengajakku ke suatu tempat. Ah, kakak ! Aku mohon jangan katakan aku salah, jangan katakan perasaan ini belum saatnya, karna baru kali ini kak, baru sekarang aku merasakannya.
Mama, anak gadismu jatuh cinta, Ma. Anakmu yang dulu sering kau omeli karna kenakalannya kini sedang menanggung perasaan ‘terlarang’. Anakmu yang dulu kau kuncir rambutnya kini sedang kasmaran berbunga-bunga. Anakmu yang sering mengecup punggung tanganmu kini sedang merasakan deru pahitnya cinta, Ma. Dia tidak seperti Papa. Perhatiannya tidak seperti Papa. Tahukah kau Ma, sekedar mengucapkan Happy Birthday dihari ulang tahunku saja tidak pernah. Sekedar tahu apa makanan kesukaanku saja tidak, Ma. Aku jatuh cinta pada kemampuannya mengkaji, Ma. Usaha memilikinya? Ah, aku hanya butiran debu tak berharga untuk dia, Ma. Katakan apa saja padaku, maka akan aku lakukan. Tapi tidak untuk berusaha mendapatkannya, Ma. Tidak untuk itu.
Tuhan, di setiap sujudku, disetiap akhir doaku, selalu kuutarakan padamu bukan bahwa aku sedang jatuh cinta? Bagaimana hamba mampu melepaskan rangkulan perasaan ini, Tuhan? Bagaimana hamba mampu menghancurkan rantai belenggu cinta ini? Ia bukan sosok pria yang sering berdiam di rumahMu. Ia juga bahkan tidak terlihat sering membaca atau mengkaji ayat-ayatMu. Hamba tak tahu Tuhan, karna ia jarang mengeskpresikan kecintaannya padaMu di depan umum.
Rasa ini kembali menggelitik jiwa ketika ia hadir dihadapanku dengan senyum manisnya. Ah, betapa asingnya wajahnya. Ia mampu mengamati permasalahan dari sisi yang tidak teramati oleh yang lain. Jelas ini bukan cinta pada pandangan pertama, apalagi cinta pertama. Tapi untuk kegilaan pertama dalam jatuh cinta, jawabannya ya, sekarang !
Cukup tahu dia sehat walafiat, cukup tahu dia lagi aktif disalah satu organisasi di kampus, cukup tahu kuliahnya lancar-lancar saja, rasanya lebih dari banyak kebahagiaan yang aku dapat.
Ah, semakin besar hasrat bersamanya, semakin kecil peluang yang tersedia. Sungguh berbanding terbalik antara harapan yang masih kupendam dan kenyataan yang akan terjadi.
Aku masih terus merangkai kata, mencari penjelasan makna yang mampu menggambarkan sosoknya yang terus menyudutkan perasaanku. Aku masih terus tersenyum padanya, mencoba menghilangkan kekosongan total dalam pikiranku. Kamu bukan hanya penguasa tunggal hatiku, tapi kamu pengendali setiap aktivitasku. Disini, saat ini, aku masih terdiam dengan rasa ini. Rasa yang tanpa batas kadaluarsa, tanpa batas waktu.
Seperti katanya Levinas, “terkadang bahasa tidak mampu menampung makna yang coba dikomunikasikan manusia”, atau pernyataan Dee dalam novelnya Perahu Kertas, ‘bahwa apa yang tak terucap terkadang tak lagi penting’, maka aku akan terus memendam, terdiam, dan tersenyum. Hanya sekedar itu !

2 komentar: