Hari ini, ketika kosan sunyi senyap, ketika
daerah Pemuda I sepi lenggang, dan ketika Jakarta sedang tidak diguyur hujan,
hatiku kembali berbunga. Ah, pria manis itu kembali menampakkan dirinya. Aku
jatuh cinta, Tuhan.
Kakak, adikmu yang centil ini
jatuh cinta, kak. Adikmu yang dulu kau marahi karna pekerjaan rumah sekarang
sedang berbunga karna pria, kak. Adikmu yang dulu sering kau bangunkan
tidurnya, sekarang lagi terbangun hatinya oleh cinta, kak. Kesederhanaannya,
pemikirannya, segala hal tentang dia mampu menarik perhatianku. Tahukah kau
kak, dia tidak sama sekali memperhatikanku, tidak sedikitpun. Perbincangan
dengannya hanya akan terjadi jika kebetulan, tidak lebih. Mukjizat rasanya jika
ia menghampiriku dan mengajakku ke suatu tempat. Ah, kakak ! Aku mohon jangan
katakan aku salah, jangan katakan perasaan ini belum saatnya, karna baru kali
ini kak, baru sekarang aku merasakannya.
Mama, anak gadismu jatuh cinta,
Ma. Anakmu yang dulu sering kau omeli karna kenakalannya kini sedang menanggung
perasaan ‘terlarang’. Anakmu yang dulu kau kuncir rambutnya kini sedang kasmaran
berbunga-bunga. Anakmu yang sering mengecup punggung tanganmu kini sedang
merasakan deru pahitnya cinta, Ma. Dia tidak seperti Papa. Perhatiannya tidak
seperti Papa. Tahukah kau Ma, sekedar mengucapkan Happy Birthday dihari ulang
tahunku saja tidak pernah. Sekedar tahu apa makanan kesukaanku saja tidak, Ma.
Aku jatuh cinta pada kemampuannya mengkaji, Ma. Usaha memilikinya? Ah, aku
hanya butiran debu tak berharga untuk dia, Ma. Katakan apa saja padaku, maka
akan aku lakukan. Tapi tidak untuk berusaha mendapatkannya, Ma. Tidak untuk
itu.
Tuhan, di setiap sujudku,
disetiap akhir doaku, selalu kuutarakan padamu bukan bahwa aku sedang jatuh
cinta? Bagaimana hamba mampu melepaskan rangkulan perasaan ini, Tuhan?
Bagaimana hamba mampu menghancurkan rantai belenggu cinta ini? Ia bukan sosok
pria yang sering berdiam di rumahMu. Ia juga bahkan tidak terlihat sering
membaca atau mengkaji ayat-ayatMu. Hamba tak tahu Tuhan, karna ia jarang
mengeskpresikan kecintaannya padaMu di depan umum.
Rasa ini kembali menggelitik jiwa ketika ia
hadir dihadapanku dengan senyum manisnya. Ah, betapa asingnya wajahnya. Ia
mampu mengamati permasalahan dari sisi yang tidak teramati oleh yang lain.
Jelas ini bukan cinta pada pandangan pertama, apalagi cinta pertama. Tapi untuk
kegilaan pertama dalam jatuh cinta, jawabannya ya, sekarang !
Cukup tahu dia sehat walafiat, cukup tahu
dia lagi aktif disalah satu organisasi di kampus, cukup tahu kuliahnya
lancar-lancar saja, rasanya lebih dari banyak kebahagiaan yang aku dapat.
Ah, semakin besar hasrat bersamanya,
semakin kecil peluang yang tersedia. Sungguh berbanding terbalik antara harapan
yang masih kupendam dan kenyataan yang akan terjadi.
Aku masih terus merangkai kata, mencari
penjelasan makna yang mampu menggambarkan sosoknya yang terus menyudutkan
perasaanku. Aku masih terus tersenyum padanya, mencoba menghilangkan kekosongan
total dalam pikiranku. Kamu bukan hanya penguasa tunggal hatiku, tapi kamu
pengendali setiap aktivitasku. Disini, saat ini, aku masih terdiam dengan rasa
ini. Rasa yang tanpa batas kadaluarsa, tanpa batas waktu.
Seperti katanya Levinas, “terkadang bahasa
tidak mampu menampung makna yang coba dikomunikasikan manusia”, atau pernyataan
Dee dalam novelnya Perahu Kertas, ‘bahwa apa yang tak terucap terkadang tak
lagi penting’, maka aku akan terus memendam, terdiam, dan tersenyum. Hanya
sekedar itu !


mau dong pinjem levinas dee nya ;)
BalasHapushaaa, kak euis. follow aku kakaaaaak :D
BalasHapus