Senin, 02 April 2012

Pingitan dan Budaya.

Pingitan. Mungkin yang ada dalam bayangan Anda ketika saya menyebutkan kata itu ialah kurungan yang dikhususkan bagi para gadis yang masih bersandar pada budaya tertentu. Menurut KBBI, pingit merupakan kata kerja yang artinya berkurung di rumah. Prosesi pingitan bergantung pada budaya yang dianut oleh masing-masing daerah. Berikut salah satu kisah hidup saya yang saya anggap tragedi kecil, orang Papua pulang ke kampung orang tuanya.

Budaya pingitan yang masih diwajibkan oleh beberapa tempat di Indonesia berlaku juga di kampung saya, Muna, Sulawesi Tenggara. Mungkin lebih tepatnya kampung kedua orang tua saya yang akhirnya di’paksa’kan menjadi kampung saya J. Mama dan Bapa (begitu panggilan sayang saya kepada kedua orang tua saya) yang memiliki empat anak gadis pastinya bangga jika mampu memingit keempatnya sekaligus dalam kurun waktu yang bersamaan. Jadilah kami sekeluarga mudik besar-besaran. Saya yang pada saat itu masih duduk di bangku MTs kelas 2 dengan senang hati ikut-ikutan mudik tanpa tahu akan mengambil peran yang cukup penting dalam adegan yang terencanakan dan terahasiakan oleh Mama dan Bapa itu.
Perjalanan Sorong – Bau-Bau kami tempuh dengan kapal laut dan memakan waktu 3 hari 2 malam. Saat itu sungguh saya tidak lebih dari seorang bawahan yang hanya mengikuti perintah bosnya. Oke, naik kapal besar, singgah di beberapa pelabuhan, menyaksikan budaya dan kebiasaan yang berbeda, jajan makanan beaneka model dan rasa, sampai melihat tragedi orang bunuh diri di tengah laut (kesimpulan yang saya simpulkan sendiri saat itu).
Tibalah kami di pelabuhan Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Karena saat itu waktu menunjukkan tengah malam, bahkan dini hari, Bapa memutuskan untuk menginap semalam sambil menanti datangnya pagi. Bapa tidak salah perhitungan saat itu, karena untuk mencapai kampung saya yang sebenarnya harus melewati laut lagi dengan menggunakan kapal kecil yang sapa diakrab kole-kole atau menggunakan kapal penyebrangan feri. Kapal kole-kole sering digunakan oleh mereka yang berani menantang ganasnya ombak malam dengan tempat duduk yang minim. Sementara kapal feri digunakan oleh mereka yang ingin lebih santai menikmati suasana laut dipagi hari, dan keluarga saya termasuk didalamnya.
Dengan menggunakan kapal feri, sampailah kami disebuah daratan yang dikenal dengan nama Wamengkoli. Berakhirkah perjalanan saya? Tidak. Wamengkoli hanya tempat persinggahan sesaat sebelum mencapai tujuan akhir perjalanan kami. Dari Wamengkoli ke kampung Mama, kami harus menggunakan angkot yang memakan waktu kurang lebih 4 sampai 5 jam. Perjalanan yang terlalu melelahkan bagi saya, yang saat itu sedang mengidap penyakit berat. Sepanjang perjalanan, sesuai dengan nasihat kakak, saya menyapa siapa saja yang saya temui di pinggir jalan ketika mobil sedang berhenti atau melaju kencang, yang tidak seorangpun saya kenal. Hal itu saya lakukan untuk mengalihkan perhatian saya terhadap rasa mual yang sudah pada puncaknya.
Sampailah kami di Wakuru, kampung yang masih asri dan kental dengan budayanya, kampung yang menjadi tempat berkumpulnya seluruh keluarga besar, kampung yang mungkin menjadi tempat kesayangan Mama.
Setelah beberapa hari saya menghabiskan waktu di Wakuru, tersebar gosip bahwa akan diadakan pingitan besar-besaran. Saya yang masih asing dengan kata pingitan itu segera mencari tahu kepada siapa saja, secara lembut ataupun sedikit memaksa, mengenai proses pingitan. Info yang saya dapat yaitu kami, para gadis yang dipingit, akan menghabiskan waktu di rumah panggung di belakang rumah yang memang sengaja didirikan untuk proses pingitan itu. Kami tidak sedikitpun diperbolehkan keluar dari rumah panggung tersebut selama 3 hari 2 malam. Jangankan untuk keluar, berdiri didalam rumah itu pun merupakan hal yang tabu bagi kami. Semua pergerakan dan perpindahan dilakukan dengan membungkuk dan berjalan sambil duduk. Hanya itu informasi yang berhasil saya peroleh.
Jika ada yang mengatakan bahwa tidak selamanya teori berbanding lurus dengan praktek, mungkin itu benar, bahkan pada posisi saya saat itu 100% benar. Bagaimana tidak, ternyata banyak hal-hal tabu dan pamali yang tidak boleh kami langgar selama dipingit, yang tidak pernah diceritakan oleh satupun informan yang saya wawancarai. Rumah panggung kami ditutup dengan tenda besar sehingga tidak seberkas cahayapun masuk. Buang air sebaiknya ditahan karena menghargai ‘peserta’ pingitan lain. Oh, God !
Setelah melalui berbagai ritual dan prasyarat, ‘petulangan’ kami d rumah panggung tersebut dimulai. Sumpek, padat, dan desak-desakan. Jadwal makan kami ditentukan dengan bunyi gendang dan gong yang dimainkan oleh para tetua. Kapan saja kami mendengar bunyi itu, seberkas cahaya akan hadir dalam rumah panggung dalam bentuk sebuah ketupat, sebutir telur dan setengah gelas air hangat bagi para penghuninya masing-masing. Apa yang terjadi diluar selama kami dipingit, sungguh diluar jangkauan dan pengamatan saya.
Hari yang kami nantikan tiba. Para gadis yang telah dipingit akan keluar dan menginjak tanah sebagai tanda bahwa ia telah ‘suci’. Para gadis tersebut juga harus menunjukan kebolehannya menari didepan para tetua, pemuka adat, orang tua maing-masing, bahkan di depan seluruh warga kampung. Bagi penghuni lama Wakuru, itu merupakan hal yang sudah biasa. Tapi bagaimana dengan penghuni yang baru beberapa hari di Wakuru? Dan itulah nasib saya dan ketiga saudari saya. Aargh, kami selama di Papua hanya diajarkan Sajojo, Yospan, Wayase, dan senam energik lainnya. Bagaimana kami bisa mengubah kelincahan kaki kami menjadi lemah lembut, gemulai dan hanya diiringi gendang dan gong tanpa musik atau lagu Papua? Oh, God !
Dan mulailah kami menari seadanya, sesederhana mungkin. Dengan dandanan dan make up serta baju adat Muna, kami masing-masing menunjukkan kemampuan menari, yang bagi saya kemampuan menari yang sangat dipaksakan. Mungkin bakat alami atau doa panjang dari Mama Bapa, saya dan ketiga saudari saya mampu melewatinya. Ada hal yang sedikit menarik disini, yaitu ketika seorang gadis menari, ia akan menjadi pusat perhatian seluruh warga kampung yang hadir dan akan di’lempar’kan uang. Yah, uang yang pada umumnya dimasukkan dalam amplop akan diserahkan kepada gadis yang menari dengan cara dilempar. Semakin unik gaya tariannya, semakin banyak gadis tersebut di’lempar’kan amplop berisi. Saya yang saat itu begitu menginginkan walkman dan headset, rela membuat gaya baru dan berlama-lama ditengah kerumunan guna mendapatkan amplop berisi lebih.
Prosesi pingitan belum berakhir. Keesokan harinya kami diwajibkan ke salah satu sungai di Wakuru yang katanya berfungsi untuk menolak bala atau sial. Oke, mulailah kami kembali mengikuti embel-embel dan prasayarat yang diwajibkan. Membersihkan kepala, membasuh muka, sampai mandi dengan air sungai.
Ada kebanggaan tersendiri bagi saya ketika menyadari bahwa saya pernah dipingit dengan adat orang tua. Kami, penghuni rumah panggung di belakang rumah, dinyatakan ‘lulus’ dari proses pingitan. Mungkin memang tanpa pengakuan pemerintah, tanpa sertifikat yang ditandatangani walikota Bau-Bau, tapi kami resmi menyandang gelar gadis Muna yang telah dipingit.
Bapa dan Mama mengabadikan semua ritual dan proses pingitan dalam bentuk video yang kini terdiam manis dalam folder di laptop saya, dan insyaAllah salah satu anak gadis mereka telah mengabadikannya dalam bentuk tulisan yang diceritakan kepada seluruh dunia.
Terima kasih kepada Mama Bapa yang telah bersusah payah mengenalkan kepada anak gadis mereka mengenai salah satu adat yang wajib diikuti. Terima kasih kepada para tetua, pemangku adat, panitia pingitan, Om Tante, sepupu, dan seluruh keluarga yang turut memeriahkan acara unik ini. Terima kasih kepada orang-orang yang telah melempari amplop berisi kepada saya, uangnya telah saya investasikan untuk impian saya, walkman, kaset Ada Band dan Agnes Monica, juga headset putih kecil.
Wakuru, kampung kecil saya, kini lagi dalam proses pembangunan. 6 tahun sudah saya tidak menjenguk tempat asri itu lagi. Mungkin jika ada yang berminat kesana, kita bisa menjenguknya bersama-sama J

2 komentar: