Pingitan.
Mungkin yang ada dalam bayangan Anda ketika saya menyebutkan kata itu ialah
kurungan yang dikhususkan bagi para gadis yang masih bersandar pada budaya
tertentu. Menurut KBBI, pingit merupakan kata kerja yang artinya berkurung di
rumah. Prosesi pingitan bergantung pada budaya yang dianut oleh masing-masing
daerah. Berikut salah satu kisah hidup saya yang saya anggap tragedi kecil,
orang Papua pulang ke kampung orang tuanya.
Budaya
pingitan yang masih diwajibkan oleh beberapa tempat di Indonesia berlaku juga di
kampung saya, Muna, Sulawesi Tenggara. Mungkin lebih tepatnya kampung kedua
orang tua saya yang akhirnya di’paksa’kan menjadi kampung saya J.
Mama dan Bapa (begitu panggilan sayang saya kepada kedua orang tua saya) yang
memiliki empat anak gadis pastinya bangga jika mampu memingit keempatnya
sekaligus dalam kurun waktu yang bersamaan. Jadilah kami sekeluarga mudik
besar-besaran. Saya yang pada saat itu masih duduk di bangku MTs kelas 2 dengan
senang hati ikut-ikutan mudik tanpa tahu akan mengambil peran yang cukup
penting dalam adegan yang terencanakan dan terahasiakan oleh Mama dan Bapa itu.
Perjalanan
Sorong – Bau-Bau kami tempuh dengan kapal laut dan memakan waktu 3 hari 2
malam. Saat itu sungguh saya tidak lebih dari seorang bawahan yang hanya
mengikuti perintah bosnya. Oke, naik kapal besar, singgah di beberapa
pelabuhan, menyaksikan budaya dan kebiasaan yang berbeda, jajan makanan beaneka
model dan rasa, sampai melihat tragedi orang bunuh diri di tengah laut (kesimpulan
yang saya simpulkan sendiri saat itu).
Tibalah
kami di pelabuhan Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Karena saat itu waktu menunjukkan
tengah malam, bahkan dini hari, Bapa memutuskan untuk menginap semalam sambil
menanti datangnya pagi. Bapa tidak salah perhitungan saat itu, karena untuk
mencapai kampung saya yang sebenarnya harus melewati laut lagi dengan
menggunakan kapal kecil yang sapa diakrab kole-kole atau menggunakan kapal
penyebrangan feri. Kapal kole-kole sering digunakan oleh mereka yang berani
menantang ganasnya ombak malam dengan tempat duduk yang minim. Sementara kapal
feri digunakan oleh mereka yang ingin lebih santai menikmati suasana laut
dipagi hari, dan keluarga saya termasuk didalamnya.
Dengan
menggunakan kapal feri, sampailah kami disebuah daratan yang dikenal dengan
nama Wamengkoli. Berakhirkah perjalanan saya? Tidak. Wamengkoli hanya tempat
persinggahan sesaat sebelum mencapai tujuan akhir perjalanan kami. Dari
Wamengkoli ke kampung Mama, kami harus menggunakan angkot yang memakan waktu
kurang lebih 4 sampai 5 jam. Perjalanan yang terlalu melelahkan bagi saya, yang
saat itu sedang mengidap penyakit berat. Sepanjang perjalanan, sesuai dengan
nasihat kakak, saya menyapa siapa saja yang saya temui di pinggir jalan ketika
mobil sedang berhenti atau melaju kencang, yang tidak seorangpun saya kenal.
Hal itu saya lakukan untuk mengalihkan perhatian saya terhadap rasa mual yang
sudah pada puncaknya.
Sampailah
kami di Wakuru, kampung yang masih asri dan kental dengan budayanya, kampung
yang menjadi tempat berkumpulnya seluruh keluarga besar, kampung yang mungkin
menjadi tempat kesayangan Mama.
Setelah
beberapa hari saya menghabiskan waktu di Wakuru, tersebar gosip bahwa akan
diadakan pingitan besar-besaran. Saya yang masih asing dengan kata pingitan itu
segera mencari tahu kepada siapa saja, secara lembut ataupun sedikit memaksa,
mengenai proses pingitan. Info yang saya dapat yaitu kami, para gadis yang
dipingit, akan menghabiskan waktu di rumah panggung di belakang rumah yang
memang sengaja didirikan untuk proses pingitan itu. Kami tidak sedikitpun
diperbolehkan keluar dari rumah panggung tersebut selama 3 hari 2 malam.
Jangankan untuk keluar, berdiri didalam rumah itu pun merupakan hal yang tabu
bagi kami. Semua pergerakan dan perpindahan dilakukan dengan membungkuk dan
berjalan sambil duduk. Hanya itu informasi yang berhasil saya peroleh.
Jika
ada yang mengatakan bahwa tidak selamanya teori berbanding lurus dengan
praktek, mungkin itu benar, bahkan pada posisi saya saat itu 100% benar.
Bagaimana tidak, ternyata banyak hal-hal tabu dan pamali yang tidak boleh kami
langgar selama dipingit, yang tidak pernah diceritakan oleh satupun informan
yang saya wawancarai. Rumah panggung kami ditutup dengan tenda besar sehingga
tidak seberkas cahayapun masuk. Buang air sebaiknya ditahan karena menghargai
‘peserta’ pingitan lain. Oh, God !
Setelah
melalui berbagai ritual dan prasyarat, ‘petulangan’ kami d rumah panggung
tersebut dimulai. Sumpek, padat, dan desak-desakan. Jadwal makan kami
ditentukan dengan bunyi gendang dan gong yang dimainkan oleh para tetua. Kapan
saja kami mendengar bunyi itu, seberkas cahaya akan hadir dalam rumah panggung
dalam bentuk sebuah ketupat, sebutir telur dan setengah gelas air hangat bagi
para penghuninya masing-masing. Apa yang terjadi diluar selama kami dipingit,
sungguh diluar jangkauan dan pengamatan saya.
Hari
yang kami nantikan tiba. Para gadis yang telah dipingit akan keluar dan
menginjak tanah sebagai tanda bahwa ia telah ‘suci’. Para gadis tersebut juga
harus menunjukan kebolehannya menari didepan para tetua, pemuka adat, orang tua
maing-masing, bahkan di depan seluruh warga kampung. Bagi penghuni lama Wakuru,
itu merupakan hal yang sudah biasa. Tapi bagaimana dengan penghuni yang baru
beberapa hari di Wakuru? Dan itulah nasib saya dan ketiga saudari saya. Aargh, kami
selama di Papua hanya diajarkan Sajojo, Yospan, Wayase, dan senam energik
lainnya. Bagaimana kami bisa mengubah kelincahan kaki kami menjadi lemah lembut,
gemulai dan hanya diiringi gendang dan gong tanpa musik atau lagu Papua? Oh,
God !
Dan
mulailah kami menari seadanya, sesederhana mungkin. Dengan dandanan dan make up
serta baju adat Muna, kami masing-masing menunjukkan kemampuan menari, yang
bagi saya kemampuan menari yang sangat dipaksakan. Mungkin bakat alami atau doa
panjang dari Mama Bapa, saya dan ketiga saudari saya mampu melewatinya. Ada hal
yang sedikit menarik disini, yaitu ketika seorang gadis menari, ia akan menjadi
pusat perhatian seluruh warga kampung yang hadir dan akan di’lempar’kan uang.
Yah, uang yang pada umumnya dimasukkan dalam amplop akan diserahkan kepada
gadis yang menari dengan cara dilempar. Semakin unik gaya tariannya, semakin
banyak gadis tersebut di’lempar’kan amplop berisi. Saya yang saat itu begitu
menginginkan walkman dan headset, rela membuat gaya baru dan berlama-lama
ditengah kerumunan guna mendapatkan amplop berisi lebih.
Prosesi
pingitan belum berakhir. Keesokan harinya kami diwajibkan ke salah satu sungai
di Wakuru yang katanya berfungsi untuk menolak bala atau sial. Oke, mulailah
kami kembali mengikuti embel-embel dan prasayarat yang diwajibkan. Membersihkan
kepala, membasuh muka, sampai mandi dengan air sungai.
Ada
kebanggaan tersendiri bagi saya ketika menyadari bahwa saya pernah dipingit
dengan adat orang tua. Kami, penghuni rumah panggung di belakang rumah,
dinyatakan ‘lulus’ dari proses pingitan. Mungkin memang tanpa pengakuan
pemerintah, tanpa sertifikat yang ditandatangani walikota Bau-Bau, tapi kami
resmi menyandang gelar gadis Muna yang telah dipingit.
Bapa
dan Mama mengabadikan semua ritual dan proses pingitan dalam bentuk video yang
kini terdiam manis dalam folder di laptop saya, dan insyaAllah salah satu anak
gadis mereka telah mengabadikannya dalam bentuk tulisan yang diceritakan kepada
seluruh dunia.
Terima
kasih kepada Mama Bapa yang telah bersusah payah mengenalkan kepada anak gadis
mereka mengenai salah satu adat yang wajib diikuti. Terima kasih kepada para
tetua, pemangku adat, panitia pingitan, Om Tante, sepupu, dan seluruh keluarga
yang turut memeriahkan acara unik ini. Terima kasih kepada orang-orang yang
telah melempari amplop berisi kepada saya, uangnya telah saya investasikan
untuk impian saya, walkman, kaset Ada Band dan Agnes Monica, juga headset putih
kecil.
Wakuru,
kampung kecil saya, kini lagi dalam proses pembangunan. 6 tahun sudah saya
tidak menjenguk tempat asri itu lagi. Mungkin jika ada yang berminat kesana,
kita bisa menjenguknya bersama-sama J

GuD JoB,,,
BalasHapusTingkatkann...:)
yomaaan :)
BalasHapus